Senin , 26 Juni 2017, 06:46 WIB
Red: Agung Sasongko
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Teknologi yang bisa membaca pikiran manusia terdengar seperti fiksi ilmiah, namun para peneliti di Selandia Baru mengatakan, teknik yang tengah mereka uji coba cukup mendekati impian itu.
Analisis gelombang otak forensik, atau “brain finger printing”, adalah metode analisa gelombang otak untuk melihat apakah subyek uji coba memiliki pengetahuan tentang informasi tertentu.
Teknologi ini dikembangkan oleh psikolog biologi Amerika Serikat, Lawrence Farwell, pada tahun 1980an, namun gagal mendapatkan banyak daya tarik sebagai bukti yang bisa diterima di pengadilan.
Teknik ini melibatkan pelacakan respon spontan otak terhadap rangsangan eksternal, dengan otak mengeluarkan tekanan elektrik sebagai respon terhadap informasi yang pernah ia hadapi sebelumnya.
Ahli neurologi dari Universitas Cantebury yang berbasis di Christchurch, Richard Jones, mengatakan, setelah melakukan pengujian lebih lanjut, teknik ini mungkin bisa membantu mengatasi kejahatan.
“Idenya adalah jika Anda melakukan kejahatan, Anda punya sesuatu dalam ingatan Anda tentang kejadian itu, atau tentang senjata, atau tentang apapun,” sebut Jones.
“Jadi, jika Anda dan tersangka lainnya diuji kemudian dengan ditunjukkan beberapa foto atau kata-kata, gelombang otak Anda bereaksi dengan cara tertentu terhadap rangsangan tersebut,” sambungnya.
Profesor Jones mengatakan bahwa teknik tersebut telah diakui sebagai bukti dalam kasus pidana di negara bagian Ohio, AS, dan juga di satu kasus di India, namun belum berlaku di Australia atau Selandia Baru.
“Dr Lawrence Farwell, yang mengembangkan ini, klaimnya tentang akurasi adalah bahwa ia tak pernah menyalahkannya,” kata Profesor Jones.
“Dari 200 orang yang ia amati dan sekitar 16 studi, tak pernah disalahkan.”
Profesor Jones mengatakan, masih belum jelas apakah mungkin untuk mengalahkan tes tersebut dengan menipu otak agar melupakan atau menemukan memori.
“Ada kemungkinan untuk menyuntikkan ingatan palsu, dan kami tak tahu sejauh mana paradigma pencetakan otak cukup kuat dibandingkan dengan hal itu,” ujarnya.
Teknik masih harus dikembangkan
Namun Profesor Jones mengatakan bahwa teknik itu masih harus dikembangkan lebih jauh, dan bahwa ia berharap, penelitian timnya di Selandia Baru akan mengilhami peneliti lain untuk mengamati metode ini.
“Masih banyak yang harus dilakukan di ruang ini,” sebutnya.
Robin Palmer, yang memelopori uji coba gelombang otak dan bekerja sebagai direktur studi klinis di sekolah hukum Universitas Canterbury, mengatakan, teknologinya memiliki banyak potensi.
Tapi ia mengakui, teknik ini baru bisa digunakan beberapa waktu mendatang sebelum analisis gelombang otak forensik diakui sebagai bukti di pengadilan Australia atau Selandia Baru.
“Melihat situasi yang diijinkan di pengadilan, ini masih cara yang cukup jauh untuk diberlakukan,” kata Profesor Palmer.
“Jika Anda kembali ke DNA, yang ditemukan pada tahun 1953, pertama kali itu diterima di pengadilan pada tahun 1988.”
Ia mengatakan, pengadilan enggan untuk terlebih dahulu mengakui teknologi baru sebagai bukti ahli yang bisa diterima.
“Tak ada yang ingin menjadi yang pertama jika menyangkut bukti ilmiah, karena Anda mempertaruhkan karir Anda dengan membuat keputusan yang mungkin salah atau memalukan bagi Anda,” kata Profesor Palmer.
Uji coba di Christchurch akan berlanjut akhir tahun ini.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 17:55 WIB 23/06/2017 oleh Nurina Savitri.
Sumber : ABC News
********
Republika.co.id