Analisis: Mencermati Separuh Perjalanan Jokowi Sebagai Presiden RI

Analisis: Mencermati Separuh Perjalanan Jokowi Sebagai Presiden RI

934
0
SHARE
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri PU Basuki Hadimuljono (kiri) meninjau proyek pembangunan jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) seksi 1, di Jalur Kalimalang Jakasampurna Bekasi, Jawa Barat, Senin (7/11). (Antara/Yudhi Mahatma).

Selasa , 02 May 2017, 16:53 WIB

Red: M.Iqbal

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Jun Suzuki *)

Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri PU Basuki Hadimuljono (kiri) meninjau proyek pembangunan jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) seksi 1, di Jalur Kalimalang Jakasampurna Bekasi, Jawa Barat, Senin (7/11). (Antara/Yudhi Mahatma).
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri PU Basuki Hadimuljono (kiri) meninjau proyek pembangunan jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) seksi 1, di Jalur Kalimalang Jakasampurna Bekasi, Jawa Barat, Senin (7/11). (Antara/Yudhi Mahatma).

Tanpa terasa, Joko Widodo telah menuntaskan separuh dari lima tahun masa kepemimpinannya sebagai presiden Republik Indonesia pada April lalu. Jika ditinjau dari salah satu aspek, Jokowi, sapaan akrabnya, telah berhasil memenuhi salah satu janjinya, yaitu menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi domestik.

Namun, rencana pembangunan infrastruktur senilai Rp 5.000 triliun atau sekitar 375 miliar dolar AS masih jauh panggang dari api. Penyebabnya klasik, yaitu kekurangan dana. Tak dapat dimungkiri, infrastruktur yang buruk telah menjadi hambatan ekonomi Indonesia. Kemampuan Jokowi untuk memuntaskan permasalahan tersebut di sisa masa kepresidenannya akan memengaruhi peluangnya untuk kembali menjadi presiden pada periode 2019-2024.

21 April 2017. Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence dan Wakil Presiden Indonesia menghadiri penandatanganan kesepakatan bisnis antara perusahaan kedua negara senilai lebih dari 10 miliar dolar AS. Kesepakatan tersebut antara lain Exxon Mobil menjual gas alam cair ke Pertamina, Lockheed Martin meningkatkan kapasitas F-16 milik TNI Angkatan Udara, dan General Electric mengembangkan infrastruktur listrik Tanah Air.

“Perusahaan AS menghadapi banyak hambatan dan kesulitan di pasar Indonesia, termasuk kekayaan intelektual, kurangnya transparansi, dan persyaratan di bidang manufaktur untuk memasukkan konten lokal agar dapat menjual produk di Indonesia,” ujar Pence menurut sejumlah media lokal.

Namun, Pence menyampaikan apresiasi atas upaya Presiden Jokowi mereformasi iklim bisnis. Pence dan Widodo pun telah sepakat dalam pertemuan mereka sehari sebelumnya untuk memperkuat kerja sama bilateral Indonesia dan AS.

Perusahaan asing, tak terkecuali dari AS, sangat ingin berbisnis di Indonesia. Ini tidak mengherankan mengingat Indonesia sangat menjanjikan baik sebagai basis produksi maupun pasar konsumen dengan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 260 juta orang.

Investasi di sektor manufaktur dan jasa tetap kuat. Sektor teknologi informasi, termasuk e-commerce, juga menarik investasi. “Pasar otomotif Indonesia akan terus berkembang,” ujar Warih Andang Tjahjono yang menjadi direktur utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, April lalu.

Sejumlah kebijakan

Untuk mendorong investasi asing, Presiden Jokowi membuat sejumlah kebijakan di sektor perhotelan, logistik, maupun sektor-sektor lainnya. Pada saat yang sama, dia meluncurkan kebijakan yang terlihat mengistimewakan perusahaan domestik di sektor sumber daya.

Salah satunya pada Januari lalu melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam beleid yang menjadi turunan UU Minerba disebutkan apabila perusahaan asing ingin terus mengekspor bijih nikel dan bauksit dari Indonesia, mereka harus melaksanakan divestasi saham.

Salah satu perusahaan asing, Freeport-McMoRan melalui anak usaha mereka PT Freeport Indonesia, sangat menentang kebijakan tersebut. “(PT Freeport Indonesia) menyampaikan harapan yang tulus agar perselisihan ini dapat diselesaikan,” ujar CEO Freeport Richard Adkerson dalam pernyataan resminya.

Terlepas dari keinginan perusahaan asing berinvestasi di Indonesia, kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak jelas jadi faktor pembatas. Ketika mantan gubernur DKI Jakarta ini menjadi presiden pada Oktober 2014, dia berjanji untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi di atas 7,0 persen. Akan tetapi, saat ini, ekonomi hanya tumbuh di kisaran 5,0 persen.

Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan negara-negara emerging market lainnya. Akan tetapi, perlambatan permintaan untuk real estat, perhiasan mewah, hingga barang-barang bernilai tinggi, telah menyeret perekonomian. Investasi asing langsung belum banyak meningkat selama beberapa tahun terakhir dan kemungkinan salah satu penyebabnya adalah iklim usaha yang tidak memuaskan di negara ini.

Situasi ini telah menyebabkan penundaan proyek infrastruktu dan berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang diluncurkan pada 2015 menyatakan perbaikan infrastruktur merupakan salah satu prioritas utama yang harus diselesaikan pada 2019.

Terdapat 19 kategori infrastruktur, termasuk pembangkit listrik, pasokan air dan saluran air limbah, jalan, jalan bebas hambatan, pelabuhan, bandara, dan jaringan broadband.

Namun, kekurangan penerimaan pajak telah menggagalkan pemerintah untuk membelanjakan lebih banyak pada sektor publik. Sementara berbagai batasan menghalangi masuknya perusahaan dari sektor swasta dan asing. UU Keuangan Negara pun menyatakan batas defisit anggaran negara tidak boleh melebihi 3,0 persen.

Hal tersebut pada satu sisi memberikan kepastian terhadap disiplin fiskal dan stabilisasi rupiah. Kelemahannya adalah pemerintah menjadi tidak bisa leluasa mengalokasikan anggaran dan mencegah lebih banyak investasi di sektor infrastruktur.

Salah satu masalah serius perihal infrastruktur yang mengemuka adalah proyek kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung senilai 5 miliar dolar AS. Proyek itu adalah hasil patungan antara perusahaan-perusahaan negara Cina dan Indonesia via skema public private partnership.

Perusahaan patungan itu seharusnya mendapatkan pembiayaan dari bank-bank Cina. Namun, pembangunan tersebut belum menunjukkan kemajuan selama lebih dari satu tahun sejak dimulai Januari 2016 dengan alasan dana belum cair.

\Pemerintah juga berencana membangun pembangkit listrik melalui proyek 35 ribu MW. Akan tetapi diperkirakan pada 2019 hanya sekitar 19 ribu MW yang dituntaskan.

Reformasi fiskal
Di sisi lain, pemerintah telah memulai reformasi fiskal dan menerapkan langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak demi pembiayaan infrastruktur. Langkah yang paling drastis tentu saja pada Januari 2015 ketika subsidi bahan bakar minyak dicabut.

Sebagai langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak, program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dimulai Juli 2016. Tujuannya untuk mendorong orang-orang kaya untuk mengakui aset mereka yang selama ini belum diumumkan.

Awalnya pemerintah berharap sekitar Rp 1.000 triliun dana bakal direpatriasi. Namun, realisasinya hanya Rp 147 triliun saat program ditutup Maret 2017. Penerimaan pajak reguler juga belum meningkat sebanyak yang diharapkan para pemangku kepentingan.

Terkait isu kesenjangan ekonomi antara Jakarta dan daerah perdesaan, pemerintah juga telah mengupayakan berbagai cara. Patut diingat bahwa penduduk perdesaan adalah salah satu basis pendukung Presiden Jokowi. Ia telah melakukan berbagai program untuk pembangan di perdesaan.

Pada pertengahan Maret 2017, Presiden menghadiri upacara peresmian pembangkit listrik di Mempawah, Kalimantan, sekitar 750 km dari Jakarta.  “Daerah ini tidak akan lagi menderita pemadaman listrik,” ujarnya.

Presiden Jokowi menghabiskan sepertiga dari tiga bulan pertama di tahun ini di luar ibu kota. “Pemerintahan ini memiliki strategi untuk mendengar masalah dari pemerintah daerah dan menyelesaikannya sesegera mungkin,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Berdasarkan data BPS, tingkat kesenjangan menurun dari kisaran 0,410 menjadi 0,394 pada masa Presiden Jokowi. Keinginannya untuk mempersempit kesenjangan pendapatan merupakan salah satu alasan di balik fokus pada pembangunan infrastruktur. Maka tak heran jika keterlambatan pada proyek-proyek infrastruktur berpotensi mengganggu jelang pemilihan presiden 2019.

Saat ini, tingkat kepercayaan penduduk terhadap Presiden mencapai 70 persen. Maka skenario Jokowi untuk menjadi presiden lagi mengemuka. Akan tetapi, hasil Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, berpotensi menghadirkan permasalahan.

Rekan Presiden Jokowi pada Pilgub DKI Jakarta 2012, Basuki Tjahaja Purnama, harus takluk atas Anies Baswedan, yang didukung oleh Prabowo Subianto. Prabowo dikalahkan Jokowi pada Pilpres 2014. Beberapa anggota Partai Golkar tampak mendukung Anies meskipun secara institusi partai berlambang beringin itu mendukung Basuki.

Hasil Pilgub DKI Jakarta diyakini bakal memberi momentum kepada Prabowo untuk mencalonkan diri kepada presiden pada pemilihan selanjutnya. Sementara pada sisi lain, koalisi yang dipimpin PDI Perjuangan (partai pendukung utama Presiden Jokowi), bukanlah mayoritas di DPR.

Koalisi ini menerima Golkar, yang merupakan oposisi terbesar pada Mei 2016, demi mendongkrak suara di parlemen menjadi sekitar 70 persen. Namun, hasil Pilgub DKI Jakarta jelas memperlihatkan kerapuhan anggota koalisi.

Baru-baru ini, IMF menempatkan Indonesia sebagai satu dari 10 negara teratas di dunia berdasarkan paritas daya beli. Negara ini memiliki potensi untuk menjadi pusat kekuatan ekonomi Asia menandingi Cina, Jepang, dan India.

Namun, sejarah kolonialisasi negara-negara barat telah membuat masyarakat Indonesia mewaspadai modal asing. Banyak politikus yang lebih suka melindungi bisnis domestik untuk menarik investasi asing dan opini publik sangat mendukung hal tersebut.

Memperbaiki iklim investasi bukan sesuatu yang mudah. Presiden perlu memanfaatkan dana dan pengetahuan perusahaan asing, menempatkan ekonomi pada jalur pertumbuhan yang tinggi, dan memimpin Indonesia menjadi negara dengan demokrasi stabil. Ini adalah tugas-tugas yang sulit bagi sang presiden di sisa masa jabatannya.

*) Jun Suzuki merupakan staf penulis di Nikkei Asian Review. Artikel ini merupakan hasil penulisan ulang dari artikel berbahasa Inggris berjudul ‘Widodo’s Support Erodes as Economy Sags, Infrastructure Projects Stall’ yang dipublikasikan pada 27 April 2017. Izin tertulis dari manajemen Nikkei Asian Review untuk menulis dan mempublikasikan ulang artikel ini ke dalam Bahasa Indonesia telah diperoleh.

*********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY