Red: Muhammad Subarkah
Amsal Digigit Nyamuk, Pengadilan Ahok, dan Makrifat Sufi
oleh: DR Iswandi Syahputra, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
—————
Garut News ( Selasa, 13/12 – 2016 ).
Dikisahkan, seorang sufi dari Jawa Timur usai memberi ajaran makrifat pada penggiat sosial media di Jakarta. Kembali ke Surabaya mengenakan kereta api malam. Tiba di rumah, saat akan melepas sorban, ditemukan ada seekor nyamuk dalam lipatan. Dengan kedalaman ilmu haqqul yaqin (makrifat) yang dimilikinya, diketahui nyamuk tersebut merupakan ‘warga’ DKI Jakarta.
Maka diputuskannya, sore hari balik lagi ke Jakarta dengan menaiki keretapi api lagi dengan tujuan mengembalikan nyamuk itu pada keluarganya. Memang demikianlah watak seorang sufi yang telah mencapai makrifat tingkat tinggi. Harga nyawa seekor nyamuk, sama berharganya dengan nyawa dirinya.
Sementara di belahan dunia lain, pada sebuah pos ronda di sebuah kampung petani di Bantul, Yogyakarta. Seorang warga bernama Parman, yang lagi ronda jaga malam digigit seekor nyamuk. Berkali diusir, namun nyamuk tetap datang lagi dan lagi tanpa diundang. Nyamuk yang datang tidak banyak, cuma satu ekor. Hanya saja, seekor nyamuk ini ditemani beberapa kawanan nyamuk lainnya.
Nah, saat seekor nyamuk itu menempel dan menggigit Parman yang sedang ronda. Reflek, Parman langsung menepuk nyamuk. Karena situasi gelap remang, nyamuk berhasil lolos dari tepukan maut Parman yang sedang setengah terkantuk-kantuk.
Pada tepukan kedua, empat warga lain (Paijo, Ponijo, Paimin dan Paiman) yang ikut ronda memberi nasihat berbeda pada Parman yang digigit nyamuk.
Berikut nasihatnya:
Paijo: “Biarkanlah nyamuk itu menggigit, tidak akan habis darah dalam tubuh karena setetes kecil darah yang disedot seekor nyamuk. Hiduplah toleran dengan nyamuk.”
Ponijo: “Jangan dibiarkan dan jangan dimatikan nyamuk yang menggigit. Usirlah dengan damai. Nyamuk juga ciptaan Tuhan!”
Paimin: ” Mati-kan saja nyamuk yang menggigit. Setetes darah yang disedot nyamuk itu diperoleh tubuh melalui proses yang lama dari beberapa intisari makanan.”
Paiman: “Jangan dibiarkan nyamuk menggigit kulit. Tapi jangan pula diusir dan dimatikan. Buat saja jebakan untuk nyamuk. Sediakan garam. Nyamuk akan memakan garam karena dikiranya gula. Dia akan kehausan dan mengira White Tequila itu air. Dia minum dan mabuk. Saat terbang dalam keadaan mabuk dia akan tersandung kayu dan kepalanya terhempas membentur batu. Nyamuk akan mati”.
Ya, demikianlah manusia kebanyakan (awam). Mereka tidak berfikir seperti seorang Sufi, seorang bijak ‘Paijo’ atau ‘Ponijo’. Atau berfikir ribet seperti ‘Paiman’ yang sering diacu pemerintah sebagai metode berfikir menyelesaikan berbagai masalah sosial. Kebanyakan masyarakat berfikir seperti ‘Parman’.
Terlebih yang digigit adalah ‘daging keyakinan atau daging kesucian agama’ yang diperoleh melalui refleksi lama dan mendalam, dia seperti darah dalam tubuh. Jangan sekali mengusik keyakinan dan kesucian agama jika tidak ingin ditepuk seperti Parman menepuk nyamuk.
Mengapa menggunakan tamsil nyamuk? Sebab Allah SWT tidak sungkan memberikan perumpamaan dengan menggunakan seekor nyamuk.
إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللهُ بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّالْفَاسِقِينَ.
Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS 2:26).
********
Republika.co.id