Red: Muhammad Subarkah
Oleh: DR Iswandi Syahputra*
Saat kasus ‘Papa minta saham’ marak, menurut catatan sekitar 150.000 netizen menandatangani petisi di change dot org menuntut agar ‘Papa’ mundur dari Katua DPR. Hasilnya, Papa memang mundur. Selang beberapa bulan berikutnya, dengan kekuatan lobi politiknya dan ‘diterima’ berkoalisi sebagai bagian dari kekuasaan, Papa berhasil kembali menduduki kursi Ketua DPR. Saat itu tidak ada penolakan dari netizen.
Mengapa perbedaan sikap netizen ini bisa terjadi? Apa sebenarnya kepentingan publik netizen tersebut? Benarkah netizen mewakili agenda mereka secara otonom dan independen? Siapa sebenarnya kekuatan dibalik netizen yang kerap mampu menyusun agenda melalui sosial media?
Mengacu pada Lim (2013) dalam ‘Many Clicks but Little Stick: Social Media Activism in Indonesia’ bahwa aktivitas media sosial di Indonesia masih tertanam dalam sistem kontrol kekuasaan dan media mainstream. Kepentingan kekuasaan dan sokongan dari media mainstream itulah yang memandu aktivitas di sosial media.
Jadi, siapa saja yang saat ini dekat atau mendekat dengan kekuasaan, Insya Allah aman karena mendapat dukungan dan sokongan dari penguasa dan media mainstream. Dalam konteks ini, polemik yang menimpa PPP dan DPD dapat diletakkan. Jadi ini sebenarnya hanya soal antara ‘agenda kami’ dan ‘agenda kalian’ BUKAN tentang ‘agenda kita’.
Dan dalam konteks ini pula, berbagai aksi massa bertajuk ‘Aksi Bela Islam’ dapat diletakkan sebagai bentuk keseimbangan dunia real (fisik) atas dominasi dunia virtual (non fisik).
Dengan demikian, kita sebenarnya sedang menyusun habitus saat memasuki suatu arena (field) untuk berebut berbagai modal (capital) dapat berupa kekuasaan, pengaruh, wacana, aset dll. Perebutan tersebut akan berakhir menjadi apa yang disebut Bourdieu sebagai doxa, seperti kepercayaan, kebenaran atau dogma tidak tertulis.
Jika aksi-aksi tersebut dianggap makar, itu sesungguhnya usaha untuk mendefinisikan, memproduksi atau membentuk doxa. Jika tidak ada usaha untuk membangun wacana tandingan atau upaya netralisasi, maka makar sebagai sebuah doxa akan menjadi kebenaran. Ini menarik dikaji dalam perspektif kritis dan post-kritisisme.
Oleh: DR Iswandi Syahputra*, Pengamat Media UIN Sunan Kalijaga.
***********
Republika.co.id