Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 04/04 – 2017 ).
Tradisi menempatkan penyelenggara negara sebagai komisaris di badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah harus diakhiri. Kebiasaan yang sudah berurat-akar itu tidak pantas diteruskan. Pekan lalu, menurut Ombudsman Republik Indonesia, dalam tiga tahun terakhir terdapat 99 penyelenggara negara menjadi komisaris pada 48 perusahaan negara atau daerah. Ini jumlah yang tentu tidak sedikit.
Banyak argumen kenapa kebiasaan ini tidak layak dilanjutkan. Dari sisi perundang-undangan, penempatan penyelenggara negara sebagai komisaris menabrak Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang ini melarang pelaksana pelayanan publik menjadi komisaris di badan usaha milik negara ataupun daerah.
Adanya penyelenggara negara di dalam badan usaha negara tentu berisiko menciptakan konflik kepentingan. Ada potensi munculnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) jika perusahaan yang dipimpin oleh pejabat eselon I itu mengikuti lelang pemerintah. Perusahaan itu menang bukan karena unggul atas apa yang ditawarkan, melainkan karena pengaruh penyelenggara negara tersebut.
Alasan bahwa pejabat pemerintah di perusahaan itu diperlukan untuk menjalankan fungsi pengawasan juga mudah dibantah. Sebab, pemerintah bisa dengan mudah menempatkan para profesional di dalam perusahaan negara itu. Bahkan para profesional ini bisa mencurahkan seluruh waktunya mengawasi jalannya perusahaan–hal yang tak bisa diharapkan dari penyelenggara negara yang ditempatkan di sana.
Selain itu, banyak instrumen yang bisa dipakai untuk pengawasan tanpa harus menempatkan seorang pejabat di sana, misalnya melalui rapat umum pemegang saham. Dengan posisi sebagai pemegang saham mayoritas, bukankah pemerintah bebas memilih manajemen yang sesuai dengan garis kebijakannya? Malah, pada BUMN/BUMD yang berstatus perusahaan terbuka, pengawasan tata kelola perusahaan sudah dikerjakan secara berkala oleh otoritas bursa.
Ada yang berpendapat bahwa kebijakan rangkap jabatan merupakan upaya memberikan tambahan penghasilan bagi pejabat pemerintah. Jika ini benar, sungguh mengusik rasa keadilan. Setelah muncul kebijakan remunerasi, pendapatan pejabat eselon I mencapai Rp 70 juta per bulan atau 1.750 persen lebih tinggi dari pendapatan per kapita Indonesia 2016 yang hanya Rp 4 juta per bulan.
Upaya menghapus rangkap jabatan sebetulnya pernah dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani sembilan tahun lalu. Sri saat itu melarang anak buahnya merangkap jabatan di BUMN maupun perusahaan swasta setelah memperbaiki remunerasi pada jajarannya. Langkah Sri saat itu terbilang sukses karena efeknya adalah para pejabat di departemen memang hanya berfokus pada bidangnya.
Rangkap jabatan pada perusahaan negara harus diakhiri. Karena itu, sikap Menteri BUMN Rini Soemarno membolehkan pejabat eselon satu menduduki jabatan komisaris pada perusahaan negara patut kita sesalkan. Alasan pejabat itu bertindak sebagai pengawas tidak bisa diterima. Semestinya Menteri Rini memberi contoh dengan melarang tegas anak buahnya merangkap jabatan. Larangan itu setidaknya mencegah munculnya bibit KKN.
*********
Tempo.co