Garut News ( Sabtu, 26/04 – 2014 ).
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atawa Ahok tak perlu kerap mengumbar amarah apabila reformasi birokrasi dijalankan.
Undang-undang menjadi landasan perubahan konsep aparatur negara, termasuk pegawai daerah, ini sudah disahkan.
Tapi pelaksanaannya masih menunggu peraturan pemerintah, dan pembentukan Komisi Aparatur Sipil Nasional.
Ahok kerap geram lantaran merasa dipermainkan anak buahnya.
Ia memarahi, antara lain, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Wiriatmoko, dianggap tak becus mengurus bus hasil hibah.
Menurut Ahok, bus bantuan berlogo nama perusahaan penyumbang ini semestinya dikenai tarif iklan murah.
Tetapi, oleh Wiriatmoko, diminta membayar iklan dengan tarif wajar.
Sebaliknya, iklan dari partai politik malahan gratis.
Dalam sebuah rapat, Ahok juga pernah berang pada salah satu pejabatnya dan direkam melalui kamera video, lalu diunggah ke media sosial.
Ahok pun pernah jengkel terhadap kinerja pegawainya.
Dia menghitung, dalam sepekan, pegawai DKI faktualnya hanya bekerja sekitar delapan jam.
Padahal kerja delapan jam aturannya untuk satu hari.
Fenomena itu menggambarkan betapa sulit mereformasi birokrasi.
Kultur pegawai negeri serba lamban membuat birokrasi jauh dari efisien.
Gubernur DKI Joko Widodo dan Ahok berupaya keras mengubahnya, antara lain lewat lelang jabatan lurah, dan merotasi banyak sekali pejabat dinas.
Hanya, perubahan ini tidaklah cukup.
Itulah pentingnya Undang-Undang Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, disahkan pada Januari lalu.
Undang-undang ini mendorong pemberian imbalan dan promosi jabatan berdasar kinerja, bukan senioritas, dan melarang penempatan pegawai atas dasar kepentingan politik atawa nepotisme.
Pemilahan aparatur sipil menjadi dua kategori–pegawai negeri dan pegawai dengan perjanjian kerja–juga memudahkan kementerian atau pemerintah daerah merekrut para profesional mengisi jabatan penting.
Banyak melihat undang-undang baru itu mengurangi wewenang kepala daerah.
Soalnya, rekrutmen pegawai harus benar-benar transparan dan akan diawasi oleh Komisi Aparatur.
Kepala daerah tak bisa lagi mengangkat pegawai sembarangan, apalagi berbau nepotisme.
Tetapi seharusnya kita melihatnya dari sisi reformasi birokrasi.
Undang-undang itu justru memudahkan kepala daerah merekrut kalangan profesional membenahi dan memerkuat birokrasinya.
Pemerintah DKI, misalnya, bisa memecat pejabat tak becus atawa sengaja mencari kesempatan korupsi, tanpa banyak ribut.
Kinerja buruk bisa menjadi alasan.
Jokowi-Ahok juga bisa segera mencari penggantinya dengan cepat–kalau perlu, merekrut dari luar.
Terjadi sekarang, pemecatan dan rotasi pejabat terkadang tak menyelesaikan masalah lantaran penggantinya juga tak lebih baik.
******
Opini/ Tempo.co