Agar Kekuasaan DPR Tak Berlebihan

Agar Kekuasaan DPR Tak Berlebihan

805
0
SHARE

Garut News ( senin, 21/04 – 2014 ).

Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).

Setelah lebih dari 16 tahun mengalami periode ketatanegaraan menitikberatkan pada peran parlemen (legislative-heavy), saatnya Indonesia kembali ke titik kesetimbangan.

Gugatan judicial review diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia, Edy Suandi Hamid, ke Mahkamah Konstitusi, dua pekan lalu, kesempatan emas mencapai hal tersebut.

Judicial review diajukan Edy berpotensi mengoreksi dua kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat, selama ini membuat lembaga itu amat berkuasa.

Pertama kewenangan Senayan memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kedua, kewenangan DPR memilih komisioner Komisi Yudisial.

Bersenjatakan dua kewenangan tersebut, parlemen menjadi sangat berkuasa menentukan hitam-putih penegakan hukum di negeri ini.

Semua orang sadar, KPK ujung tombak pemberantasan korupsi.

Sedangkan Komisi Yudisial, harapan membersihkan para hakim dari jajaran pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung.

Realitas selama ini menunjukkan, para politikus di Senayan lebih sering menyalahgunakan kedua kewenangan tersebut.

Semangat esprit de corps para politikus, merasa menjadi sasaran gerakan pemberantasan korupsi menjadikan mereka kerap mencari celah melemahkan kewenangan KPK.

Inisiatif mendukung, dan menguatkan kapasitas Komisi Yudisial juga jarang terdengar dari parlemen.

Dengan alasan itulah, gugatan Edy punya landasan kuat.

Apalagi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas-jelas mengatur bahwa DPR hanya punya tiga fungsi: legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Kewenangan DPR memilih pimpinan lembaga negara hanya tercantum dalam pasal mengenai tata cara seleksi pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dan tiga hakim Mahkamah Konstitusi.

Selebihnya, politikus Senayan sebenarnya hanya bisa memberikan pertimbangan atau persetujuan.

Selain itu, patut dicatat bahwa tren menuju titik kesetimbangan dalam sistem ketatanegaraan kita sebenarnya sudah dimulai.

Pada awal Januari lalu, para hakim konstitusi memutuskan bahwa DPR tidak berhak lagi menyeleksi hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial.

Sesuai dengan konstitusi, parlemen hanya berhak memberikan persetujuan atas nama-nama calon hakim agung.

Sebelumnya, peran DPR dalam memilih calon duta besar yang diajukan presiden juga sudah dihapuskan.

Menghilangkan kewenangan DPR dalam seleksi pimpinan KPK dan Komisi Yudisial akan memberikan harapan baru bagi publik.

Calon-calon terbaik yang selama ini kandas akibat pertimbangan politik di DPR kini punya kans untuk lolos.

Pimpinan yang terpilih pun dijamin tak bakal tersandera oleh utang budi, yang membuatnya kerap sungkan bersikap independen terhadap Senayan.

Sudah lama rakyat merindukan gerakan pemberantasan korupsi yang lebih trengginas dan hakim-hakim yang lebih bersih.

Kini Mahkamah Konstitusi punya kesempatan mewujudkan harapan itu.

******

Opini/Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY