Ari Mochamad
Climate Adaptation Governance Advisor
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 13/06 – 2017 ).
Tanah longsor yang terjadi di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada 7 April lalu dan tanah longsor susulan kemudian telah menewaskan 28 orang. Ini merupakan korban bencana alam terbesar tahun ini. Sebelum bencana, intensitas hujan di kawasan tersebut tinggi sehingga mengakibatkan tanah dalam kondisi jenuh air karena tingginya serapan air ke dalam tanah.
Intensitas hujan yang tinggi juga menyebabkan meluapnya air sungai yang berakibat banjir diikuti tanah longsor di beberapa tempat di Indonesia, misalnya Trenggalek (Februari 2017) dan Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pada Maret 2017 (kerugian dan kerusakan ekonomi mencapai Rp 253 miliar) serta di beberapa tempat lain di Indonesia.
Selain faktor iklim, bencana dipengaruhi pelanggaran terhadap tata ruang yang semakin mendorong tingkat kerentanan dan risiko bencana.
Bencana iklim pada tahun lalu mencapai 97,1 persen, yang mengakibatkan korban jiwa manusia; merusak infrastruktur publik, permukiman, lingkungan; serta kegagalan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Semua berdampak pada hasil pembangunan yang telah dicapai.
Ironisnya, rata-rata 30-40 persen dari produk domestik bruto (PDB) dialihkan untuk tanggap darurat dan pemulihan bencana. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2016 menyebutkan jumlah kerugian bencana tahun ini, termasuk akibat bencana iklim, mencapai Rp 40 triliun–belum termasuk kerugian di sektor perikanan, pertanian, dan perkebunan.
Di sisi lain, pemerintah telah menyiapkan kebijakan dan rencana aksi. Selama ini, pendekatan struktural melalui bangunan fisik serta intervensi teknologi dan nonstruktural, seperti pelatihan petugas, penyiapan regulasi, dan memperkuat kelembagaan, sudah cukup disiapkan. Namun pendekatan yang dilakukan umumnya secara atas-bawah dan teknokratik sehingga hasilnya sebatas kuantitatif.
Sayangnya, upaya menekan dampak bencana terkait dengan iklim menggunakan pendekatan berbasis masyarakat kurang dipopulerkan sebagai aksi yang masif dan sistematis. Padahal ada instrumen pendukung untuk mewujudkan masyarakat pada level terendah, seperti Undang-Undang Desa yang memberikan ruang kepada desa untuk mengembangkan dan membangun program, termasuk untuk ketangguhan dalam merespons ancaman dan bencana alam.
Esensi membangun ketangguhan berbasis masyarakat harus diangkat saat intervensi yang telah dilakukan tak mampu menghindarkan terjadinya bencana. Kekuatan pendekatan berbasis masyarakat mampu menciptakan ruang kontrol, termasuk di dalamnya pemanfaatan ruang dan penggunaan sumber daya alam yang baik dan berkelanjutan, yang didasari oleh pemahaman, pengetahuan, dan kesepakatan antarmasyarakat tersebut.
Dalam spektrum adaptasi perubahan iklim dan ketangguhan, adaptasi berbasis masyarakat (community based adaptation/CBA) menjadi salah satu referensi. Pendekatan ini didasari oleh situasi internal dan budaya pada masyarakat tersebut, yang menempatkan kehadiran mereka sebagai aktor pelaksana.
Adanya pemahaman dan pengetahuan masyarakat serta rasa kepemilikan terhadap wilayah berpengaruh kuat terhadap berjalannya pendekatan berbasis masyarakat ini.
Proses membangun kapasitas adaptasi dan ketangguhan sangat terkait dengan risiko yang ditimbulkan oleh faktor eksternal dan ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan lanskap sosial dan sumber daya kolektif. Nilai kepercayaan tidak diukur dari lemah atau kuatnya ikatan antar-individu masyarakat, melainkan juga persepsi yang baik dan benar terhadap isu tertentu.
Penyampaian informasi dan pengetahuan mengenai persoalan ini harus mereka pahami agar mampu merespons isu tersebut dengan baik dan benar pula.
Artinya, kemampuan beradaptasi tidak ditentukan oleh ketersediaan teknologi saja, melainkan juga kapasitas, termasuk struktur pengambilan keputusan dalam masyarakat itu sendiri. Kebijakan perubahan iklim hakikatnya memprioritaskan aspek penyelamatan sebuah wilayah, bangsa, dan negara dari ancaman yang ditimbulkan.
Mobilisasi gagasan untuk mendapat respons dan pemahaman yang sama membutuhkan unsur perekat yang mampu mendorong masyarakat secara kolektif ke arah yang diinginkan.
Sebagai sebuah konsep atau teori, CBA berpotensi menjawab kebutuhan tersebut. Melalui pendekatan berbasis kelompok masyarakat, guncangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim akan mampu diredam dengan meningkatkan dan mengatasi hambatan informasi serta memfasilitasi akses pada pengetahuan pertanian dan teknologi sebagai cara beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Semoga kita belajar secara serius dari bencana-bencana yang sudah terjadi.
*********
Tempo.co