KAMIS, 03 AGUSTUS 2017 | 02:02 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
Pemerintah tak boleh meremehkan kematian masif anak balita di Papua. Sebanyak 90 balita meninggal secara beruntun dalam lima bulan terakhir di Kabupaten Deiyai. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat kematian serupa di Kabupaten Nduga, Papua, dua tahun silam. Dari sisi lokasi, wabah yang hanya di satu kabupaten semestinya membuat pemerintah bergerak cepat menangani kejadian tak biasa itu.
Selama ini pemerintah daerah lebih sibuk menjawab bahwa kematian itu terjadi cuma pada 27 balita. Meninggalnya bayi secara beruntun juga disebut bukan karena wabah. Bupati Deiyai menyatakan kurangnya kesadaran hidup bersih sebagai biang penyebabnya.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan menunjuk sebab lain: rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi.
Ketimbang simpang-siur, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah lebih baik menerjunkan tim untuk memastikan jumlah dan penyebab kematian anak-anak itu. Jika pernyataan bupati benar, hal ini justru menunjukkan ada yang salah dalam pembangunan kualitas kesehatan di daerah itu.
Kesadaran hidup bersih semestinya ditanamkan oleh pemerintah daerah dari awal. Bupati dan aparatnya juga wajib menjaga kesadaran itu, bukan cuma sekali berkampanye lalu “meninggalkan gelanggang”.
“Tinggal glanggang” itu tampak misalnya dari bantuan yang cuma muncul satu kali. Sejak kabar banyaknya balita meninggal sampai ke Jakarta, bantuan obat-obatan, cek kesehatan, dan imunisasi massal digelar selama tiga hari pada pertengahan Juli lalu.
Tapi, setelah itu, tak ada tindak lanjut dari Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah. Puskesmas juga tak ditambah. Selama ini hanya ada 10 puskesmas, dengan hanya lima dokter, yang buka cuma empat hari dalam sepekan.
Langkah Kabupaten Nduga perlu ditiru: mengundang tim kesehatan dari pusat untuk melakukan uji laboratorium. Setelah pengambilan sampel dari warga, penyebab kematian misterius itu diketahui bukan masalah sanitasi atau gaya hidup tak sehat, melainkan lantaran mereka terjangkit dua jenis kuman yang sangat berisiko bagi anak-anak: bakteri yang menyerang saluran pernapasan dan paru-paru. Gejalanya, anak mengalami sakit tenggorokan, muntah, demam, dan kejang-kejang.
Di Deiyai ditemukan banyak kasus bayi meninggal dengan gejala campak. Selain campak, banyak anak menderita diare, infeksi saluran pernapasan, dan disentri. Campak merupakan penyakit menular. Setiap empat menit, satu anak di dunia meninggal karena penyakit ini.
Di Indonesia, ancaman paling serius datang dari campak jenis rubela, yang kini sedang getol diperangi Kementerian Kesehatan. Indonesia bahkan mencanangkan bebas campak rubela pada 2020.
Pemerintah semestinya menerapkan gerakan “perang melawan campak” itu di Deiyai dengan menurunkan tim peneliti. Bukan malah menyalahkan sana-sini, mengoreksi data ini-itu, sementara kematian terus mengincar anak-anak kita.
********
Opini Tempo.co