SELASA, 25 JULI 2017 | 00:15 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
Kepolisian RI perlu berhati-hati dalam menangani kasus 1.161 ton beras “oplosan” yang ditemukan saat penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul di Bekasi, Kamis pekan lalu. Ada banyak persoalan yang perlu diperjelas.
Badan Reserse Kriminal Polri harus dapat membuktikan bahwa yang terjadi di gudang itu benar-benar pelanggaran hukum, dan polisi bukan sedang mencari-cari kesalahan. Tanpa kejelasan, dampaknya sangat buruk bagi pelaku usaha.
Tuduhan bahwa PT Indo Beras Unggul berbuat curang dan merugikan konsumen harus disertai bukti kuat. Produk perusahaan itu, berupa beras bermerek Ayam Jago dan Maknyuss, dituding merugikan pembeli. Menurut polisi, beras ini dikemas dan dijual dengan harga premium, padahal sejatinya beras bersubsidi–jenis beras yang dikenal sebagai “rastra” alias beras sejahtera. Ini jenis beras yang biasanya dibagikan oleh Bulog ke rumah tangga miskin.
Jika indikasi praktik curang seperti itu kuat, polisi bisa saja menggunakan jerat Pasal 383 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perbuatan curang yang menyesatkan khalayak umum. Juga Pasal 141 Undang-Undang Pangan tentang memperdagangkan pangan tak sesuai dengan kemasan. Atau menggunakan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang memproduksi dan memperdagangkan barang tak sesuai dengan yang dinyatakan dalam label.
Masalahnya, tuduhan itu akan mudah dibantah. Jika PT Indo Beras Unggul dituding membeli gabah ke petani, lalu menjualnya dalam bentuk beras dengan harga jauh lebih mahal, apakah ini pelanggaran hukum? Apalagi jika ternyata gabah itu dibeli dari petani dengan harga rata-rata lebih mahal Rp 1.400 per kilogram dibanding pembeli lain. Praktik begini sangat wajar karena begitulah dagang.
Logika yang sama berlaku saat PT Indo Beras Unggul menjual mahal berasnya karena berkualitas premium. Selisih harga beli gabah dan harga jual beras adalah biaya pengolahan, pengemasan, dan margin keuntungan pabrik. Faktanya, tidak ada yang mempersoalkan harga beras itu karena memang ditujukan untuk konsumen beras premium.
Memang ada instrumen pengatur harga, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017. Di sini ada “harga acuan” pembelian gabah dan penjualan beras. PT Indo Beras dianggap melanggar aturan ini. Masalahnya, semangat aturan ini sebetulnya adalah instrumen intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga beras.
Saat harga beras stabil, hukum pasarlah yang berlaku. Jika ada yang membeli gabah dengan harga lebih mahal, bukankah ini bagus bagi petani? Begitu pula jika beras premium dijual mahal, bukankah sah saja?
Itu sebabnya, kepolisian harus berhati-hati. Kesimpangsiuran informasi, seperti menyebutkan nilai kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah akibat “kejahatan” ini, akan membuat pengusaha khawatir dikriminalkan, dituduh menimbun dan memanipulasi harga.
Akibat tidak adanya kepastian usaha, pengusaha menjadi takut, sehingga pasokan beras pun terganggu. Ujung-ujungnya, harga beras melambung tinggi dan akhirnya menyusahkan masyarakat.
*********
Opini Tempo.co