Jumat , 21 July 2017, 09:24 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh Sabar Sitanggang
Dalam soal mengingat masa lalu, orang Prancis bilang ‘Sejarah itu mengulang’. Di wilayah lain ada juga ujaran senada: tak ada yang baru di bawah sinar matahari.
Nah, pada Rabu lalu (19/Juli), ujaran itu terbukti ketika ada pernyataan dari pemerintah mengenai pembubaran Ormas HTI yang diiringi dengan penerbitan Perppu pembubaran Ormas yang ditandatangani presiden Joko Widodo.
Lalu apa sejarah yang mengulang? Ya entah kebetulan atau tidak pilihan hari pembubaran Ormas HTI itu sama dengan hari ketika Partai Masyumi dan Partai Sosialis (PSI) dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada awal tahun 1960-an.
Perbedaannya memang sedikit ada, yakni terkait dengan waktu pengumuman pembubaran itu. Pembubaran HTI diumumkan pada hari Rabu menjelang tengah hari, sekitar pukul 10.00-11.OO WIB. Sedangkan pembubaran Masyumi (dan PSI) diketahui pada pagi hari ketika orang tengah bersiap kerja dan menyeruput kopi pagi seusai shalat Subuh, yakni sekitar puku 05.20 WIB tanggal 17 Agustus 1960.
Saat itu, Pimpinan Pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet No. 2730/TU/60 yang berbunyi:
“Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami untuk menyampaikan Keputusan Presiden Nomor 200/1960, bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, Pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, Partai Masyumi akan diumumkan sebagai ‘partai terlarang’.”
Bahkan, untuk menguatkannya, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 128 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, PSII, Parkindo, IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.
Tak beda dengan pembubaran HTI yang sudah tercium jauh-jauh hari sebelumnya, pembubaran Masyumi dan PSI juga sudah terendus cukup lama sebelumnya. Tak beda dengan situasi hari ini, saat itu kondisi politik juga ‘panas’. Masyumi misalnya sangat kritis kepada rezim Sukarno. Mereka mempersolkan pembentukan APBN, pembubaran konstituante, hingga memprotes tindakan Presiden Sukarno yang dengan gagah berani membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955 dan mengangkat sendiri anggota parlemen penggantinya dengan memberikan nama DPR Gotong Royong (DPRGR).
Di tengah situasi itu, situasi politik juga memanas seiring makin agresifnya agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu partai berlambang palu arit yang diketuai DN Aidit ini juga mengklaim dan berpidato sebagai pengikut paling konsuken Pancasila. Sementara Masyumi yang dikatakan Aidit sebagai ‘Sarekat Hejo’ terlihat jelas terus disudutkan dengan mengkaitkan pemimpinnya terlibat dalam pemberontakan PRII/Permesta hingga gerombolan serupa DI/TII pimpinan Kartosuwiryo.
Tak cukup menyerang partai berideologi Islam (Masyumi) dan partai berideologi sosialis (PSI), ormas pemuda yakni Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) pada saat itu juga ikut sibuk dituntut agar dibubarkan oleh penguasa.
’’Kalau HMI kalian tak bisa bubarkan, maka lebih kalian pulang saja dan tukar pakaian dan kenakan sarung,’’ begitu kata Aidit dalam pidato di depan para anggota partainya ketika menyerukan pembubaran Ormas HMI. Saat itu muncul juga agitasi Islamophobia: ‘Waspadaah terhadap kaum sarungan!”
Namun, segala agitasi dan persengkolan politik itu disikapi dengan dingin oleh para pemimpin Masyumi. Meski begitu bagi mereka tetap tak menyangka kalau Presiden Sukarno sampai hati membubarkan partai mereka yang menjadi pemenang kedua Pemilu 1955. Apalagi para pemimpin Masyumi –bersama dengan pemimpin PSI – sempat diundang untuk makan malan bersama Presiden Sukarno di Istana Negara. Dalam pertemuan itu tak ada tanda-tanda bila partainya akan dibubarkan karena ekpresi Sukarno saat itu biasa saja, bahkan sangat akrab menyambut kedatangan mereka.
Namun, ada daya beberapa bulan setelah pertemuan di Istana itu, ternyata Presiden Sukarno menyatakan Masyumi dan PSI dibubarkan. Lebih menyakitkan lagi mereka dibubarkan tanpa sempat membela diri di depan pengadilan.
Pada sisi lain, atas munculnya situasi paradoks inilah kemudian terbit tulisan Bung Hatta di Majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka dengan judul ‘Demokrasi Kita’. Hatta secara terbuka mengkritik tindakan Sukarno yang berperilaku otooriter dan melanggar prinsip demokrasi serta prinsip negara hukum.
Kemudian apa yang ditempuh Masyumi melawan kesewenangan itu? Setelah keluarnya keputusan pembubaran tersebut, para tokohnya (termasuk tokoh PSI) banyak yang kemudian dijebloskan ke dalam penjara yang juga dilakukan tanpa pengadilan. Meski diberlakukan tak senonoh mereka tak melakukan gerakan gegabah, misalnya mengangkat senjata. Mereka memilih jalur hukum menggugat melalui pengadilan meski dengan risiko akan dikalahkan karena kasusnya terkait dengan soal politik.
Ini mereka buktikan, pada 9 September 1960 (beberapa pekan setelah terbitnya keputusan pembubaran), PP Masyumi secara resmi memajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta. Tujuannya untuk membatalkan Keppres No. 200/1960 sebagai tindakan yang oleh Masyumi dianggap melawan hukum.
Dan sebagai responsnya, pada 11 Oktober 1960, keluarlah penetapan Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta yang dalam amar putusannya menyatakan Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini.
Atas penetapan pengadilan itu, Masyumi, melalui Kuasa Hukumnya, Mr Mohamad Roem, menyatakan banding. Lucunya sampai Sukarno jatuh, tidak ada putusan banding yang ke luar.
Uniknya lagi, dahulu ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Penpres pembubaran Masyumi dan PSI dia sempat berkonsultasi kepada Ketua Mahkamah Agung yang saat itu diketuai Wirjono Prodjodikoro. Saat itu dia mengatakan ‘boleh dibubarkan’.
Tapi kemudian setelah Sukarno jatuh dari singgasana kepresidenannya, pada tahun 1966, ketika Wirjono menjabat sebagai Ketua Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) dia menandatangi resolulusi Munas Persahi yang menyatakan pembubaran Masyumi dan PSI tidak syah.
Jadi itulah kisah pilu Penpres pembubaran Masyumi dan PSI serta Perppu pembubaran HTI yang terbit di hari Rabu!
*Sabar Sitanggang, Mathematics Teacher di ar-Rayhan Publisher.
*********
Republika.co.id