Selasa , 23 May 2017, 10:00 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh Selamat Ginting*
“Buka! Kau buka pintunya! Jangan sampai terjadi pertumpahan darah!” Suara bariton yang menggelegar itu disampaikan Menko Polkam, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung melalui telepon genggamnya kepada seseorang di ruang kerjanya, kantor Menko Polkam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, pertengahan Mei 1998.
Saat itu saya sedang di ruang kerjanya bersama empat wartawan lainnya mewawancarai Jenderal Tanjung. Pertanyaan seputar tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta oleh aparat kepolisian.
Kami menjadi saksi detik-detik dibukanya pintu gedung DPR MPR dan ribuan mahasiswa merangsek rumah parlemen di Senayan tersebut.
Saya menduga orang yang sedang telepon dengan Menko Tanjung tersebut adalah pengendali masalah stabilitas keamanan di ibukota negara.
Wajah Tanjung terlihat memerah, rahangnya mengeras. Ia tidak konsentrasi lagi dengan pertanyaan-pertanyaan kami. Situasi Ibu Pertiwi memang sedang hamil tua. Jenderal paling berpengaruh di kabinet tersebut harus bersikap. Mempertahankan Presiden Soeharto yang sudah berada di ujung tanduk atau terus terjadi pertumpahan darah.
Pilihannya untuk memerintahkan membuka pintu gedung DPR MPR menjadi langkah mempercepat lengsernya Pak Harto secara damai.
Selama 19 tahun saya menyimpan rahasia sejarah ini. Saya pikir memang harus dibuka. Saat itu, Tanjung lebih didengar dan dihormati para jenderal aktif daripada Jenderal Wiranto yang baru dua bulan menjadi Panglima ABRI. Mungkin, karena Wiranto terlalu instan untuk jabatan strategis tersebut.
Sementara Tanjung baru dua bulan pensiun dari jabatan Panglima ABRI. Dia menjabat sejak Mei 1993-Maret 1998. Sehingga pengaruhnya masih ada dan terasa. Itulah mengapa kami mencarinya untuk mengetahui peristiwa genting Mei 1998 menjelang lengsernya Presiden Soeharto.
Tanjung punya hubungan khusus dengan Wapres BJ Habibie dan tokoh reformasi saat itu, Amien Rais, sang ketua umum Muhammadiyah. Saat berpangkat mayor (Infanteri), Tanjung mengikuti pendidikan Seskoad Jerman Barat dan berkenalan dengan Habibie di Berlin. Ia lahir dari keluarga Muhammadiyah. Ayahnya adalah tokoh Muhammadiyah di Sibolga. Itulah mengapa Jenderal Tanjung punya hubungan mesra dengan ormas modernis Islam tersebut.
Banyak yang tidak tahu, Kompi Tanjung-lah ujung tombak penumpasan G30S/PKI di Jakarta. Termasuk yang menemukan sumur tempat dikuburnya enam jenderal Angkatan Darat dan rekannya Lettu (Zeni) Piere Tendean, sesama lulusan Akmil 1961. Tendean lulusan Akmil Bandung dan Tanjung lulusan Akmil Magelang.
Hampir setiap operasi pasukan khusus Indonesia era 1963 hingga 1976, Tanjung selalu ikut. Biasanya didampingi juniornya, Sintong Panjaitan. Tanjung pun menjadi anak buah kesayangan Sarwo Edhie Wibowo.
Jika pada 1965-1967 ia sebagai perwira pertama yang memperlicin jalan bagi Jenderal Soeharto ke istana, maka pada 1997-1998 ia juga memperlicin jalan Jenderal Besar Soeharto meninggalkan istana.
Adalah Tanjung pula yang mengusulkan agar Pak Harto diberikan penghargaan sebagai jenderal besar kehormatan. Tujuannya sebagai penghargaan terakhir agar Pak Harto tidak maju lagi sebagai presiden pada 1998. Eh, ternyata Pak Harto maju lagi.
Dugaannya benar akan ada penolakan dari mahasiswa secara nasional, seperti yang dialami Bung Karno pada 1966. Gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia pada 1966 dan mahasiswa Universitas Trisakti pada 1998 menjadi sejarah kelam. Tanjung tidak ingin ada pertumpahan darah lebih banyak dan memilih opsi buka pintu gedung parlemen sebagai stimulus mempercepat lengsernya Pak Harto, 21 Mei 1998.
Tulisan hasil liputan yang tersisa dan membuka tabir sejarah siapa tokoh di balik dibukanya pintu Senayan. Salam reformasi. Semoga Indonesia semakin baik.
* Selamat Ginting, Jurnalis Republika
*********
Republika.co.id