Red: Maman Sudiaman
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri
REPUBLIKA.CO.ID, Al Azhar, Mesir, yang telah berusia lebih dari seribu tahun, kini terus berbenah. Saya menyebutnya sebagai sedang ‘merapikan barisan’. Bukan hanya soal arah perjuangan, visi dan misi, atau aktivitas dakwah.
Namun, secara menyeluruh segala hal sedang dibenahi. Termasuk metode dakwah dan pendidikan, sumber daya manusia (SDM), lembaga-lembaga di bawahnya, dan bahkan para alumninya yang tersebar di berbagai penjuru dunia.
Tidak bisa dipungkiri Al Azhar yang merupakan lembaga dakwah, pendidikan, sosial, dan budaya ini sedikit banyak telah ikut terkena imbas dari tsunami politik di Timur Tengah. Tsunami politik yang berupa aksi-aksi unjuk rasa rakyat Arab itu telah berhasil melengserkan sejumlah rezim penguasa diktator-otoriter.
Kejatuhan para penguasa diktator-otoriter itulah yang, oleh pihak Barat, disebut sebagai Musim Semi Arab alias al Arabi’ al ‘Araby atau the Arab Spring. Disebut Musim Semi, karena perubahan itu diharapkan bisa membawa kehidupan rakyat Arab menjadi lebih baik, lebih demokratis, dan lebih sejahtera.
Rakyat pun bisa lebih bebas mengemukakan pendapat tanpa rasa takut. Sayangnya, harapan itu tinggal harapan. Musim semi telah berubah menjadi tsunami yang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan.
Kondisi demikian itulah yang justru dimanfaatkan kelompok-kelompok radikalis-ekstrimis yang membawa nama Islam. Seperti halnya kelompok yang menamakan diri Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS. Mereka bukan hanya bisa membentuk negara. Namun, juga berhasil merekrut ribuan pemuda dari berbagai negara. Dalam aksinya, mereka juga menebarkan teror di mana-mana.
Karena ISIS mengatasnamakan agama, maka yang terkena batunya justru Islam dan umat Islam sendiri. Di Barat muncul istilah Islamophobia. Yakni kebencian terhadap Islam dan umat Islam. Kebencian ini muncul akibat berbagai aksi teror yang dilakukan ISIS dan antek-anteknya dengan membawa nama Islam.
Sedangkan di negara-negara mayoritas penduduk Muslim, seperti di Mesir, tindakan teror yang mengatasnamakan Islam itu juga telah mengganggu kerukunan umat beragama. Antarmereka muncul rasa saling curiga.
Hal itu tentu membuat khawatir dan prihatin pihak Al Azhar yang menjadi benteng Islam toleran dan moderat. Apalagi lembaga dakwah, pendidikan, dan sosial ini telah lama mengibarkan bendera Ahlu as Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Yakni Islam yang ramah, moderat, toleran, dan rahmatan lil ‘alamin.
Islam yang memberi rahmat bukan hanya kepada umat Islam, namun juga kepada alam seisinya. Termasuk umat beragama lain.
Al Azhar sendiri sebagai institusi bukan politik pada awalnya juga gamang menghadapi aksi-aksi demonstrasi rakyat Mesir. Yakni, apakah bersama para demonstran atau pro rezim Presiden Husni Mubarak. Namun, pada perkembangannya kemudian sejumlah besar pimpinan dan senior Al Azhar memilih untuk ikut turun ke jalan membela rakyat Mesir.
Setelah Presiden Mubarak lengser dan kemudian Muhammad Mursi, tokoh yang dicalonkan Ikhwanul Muslimin (IM), memenangkan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada 2012, bibit-bibit perselisihan antara IM dan Al Azhar mulai tampak. Gara-garanya, IM — dengan sayap politiknya Partai Keadilan dan Kemerdekaan (FJP) — sebagai pemenang pemilu dan kemudian penguasa, selalu ingin mencampuri/intervensi urusan internal Al Azhar. Termasuk mengambil-alih berbagai urusan yang sebelumnya menjadi domain Al Azhar.
Selama IM berkuasa, berbagai ceramah agama pun dijadikan mimbar politik. Misalnya khutbah Jumat, taushiyah agama di masjid, dan seterusnya. Bahkan khutbah Jumat dan imam masjid yang dulu menjadi urusan orang-orang Al Azhar telah diambil-alih oleh para aktivis IM. Sejak itu sisi Islam politik lebih menonjol dari pada Islam dakwah.
Karena itu bisa dimaklumi ketika Al Azhar kemudian mendukung penyelamatan (pengambilalihan) negara yang dilakukan pihak militer pada 2013. Penyelamatan dilakukan saat terjadi demonstrasi besar-besaran yang menghadapkan antara dua kelompok yang pro dan kontra terhadap IM dan Presiden Mursi.
Sejak itu, Al Azhar yang dipimpin Sheikh Dr Ahmad Tayib pun mulai berbenah diri. Dari sisi ideologi, Al Azhar pun memantabkan kembali sebagai pengibar panji-panji Aswaja. Mengedepankan Islam sebagai agama yang modern, ramah, moderat, toleran, dan rahmatan lil alamin.
Dari sisi organisasi, mereka pun mulai meminggirkan orang-orang yang tidak sepandangan dengan Al Azhar. Termasuk menerima pengunduran diri ulama besar Sheikh Dr Yusuf Qardhawi dari keanggotaan Dewan Ulama Senior Al Azhar.
Berikutnya, Al Azhar membentuk Majelis Hukama al Muslimin yang anggotanya merupakan tokoh-tokoh agama berpengaruh dari berbagai negara. Sedangkan untuk para alumni, Al Azhar mengikat mereka dalam satu wadah yang bernama Ikatan Alumni Al Azhar Internasional (ar Rabithah al ‘Alamiyah li Khirriji al Azhar) di setiap negara di mana terdapat lulusan Al Azhar. Ikatan alumni ini dimaksudkan sebagai perpanjangan tangan dari Al Azhar Pusat.
Menurut Ahmad Fawzy Abdul Hamid, direktur departemen luar negeri untuk urusan alumni Al Azhar, jumlah alumni Al Azhar di berbagai negara — di luar Mesir — kini tercatat lebih dari 50 ribu orang, termasuk dari Indonesia. Ikatan Alumni Al Azhar Internasional di Indonesia kini diketuai oleh Dr Quraish Syihab. Ia juga menjadi anggota Majelis al Hukama al Muslimin.
Dari sisi pergerakan, Al Azhar menegaskan sebagai bukan lembaga politik. Namun, lebih sebagai lembaga dakwah, pendidikan, sosial, dan budaya. Sebagai realisasinya, mereka antara lain mengirimkan delegasi dakwah (juru dakwah) ke berbagai negara. Mereka juga selalu meningkatkan penerimaan mahasiswa asing. Dari Indonesia kini jumlah mahasiswa yang kuliah di Mesir tidak kurang dari 4.000 orang, sebagian besar mendapat beasiswa dari Al Azhar.
Sheikh Al Azhar sendiri juga memimpin delegasi untuk berkunjung ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia beberapa bulan lalu. Mereka membuka dialog dengan berbagai pihak. Baik dengan tokoh-tokoh Islam maupun dengan tokoh agama lain. Antara lain dengan Paus Fransiskus dari Vatikan, para politisi dan akademisi dari berbagai penganut agama, dan lainnya.
Selanjutnya, Al Azhar pun menyelenggarakan berbagai seminar internasional secara rutin di Kairo. Baik di kalangan umat Islam sendiri maupun yang melibatkan tokoh-tokoh dari para penganut agama yang berbeda. Terakhir Al Azhar bersama Majelis Hukama al Muslimin menyelenggarakan konferensi internasional bertajuk ‘al Huriyah, al Muwathonah, at Tanawwu’ wa at Takamul’ (Freedom, Citizenship, Diversity, and Integration) di Kairo pada awal bulan ini.
Pesertanya lebih dari 600 orang dari berbagai negara dan dari penganut agama berbeda. Inti dari konferensi ini adalah mencari formulasi yang tepat agar para pemeluk agama berbeda, termasuk yang ateis sekalipun, dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Apa yang dilakukan Al Azhar dalam beberapa tahun ini, atau istilah saya ‘penertiban barisan’ oleh Al Azhar, jelas dimaksudkan untuk memimpin atau membentuk koalisi internasional melawan ideologi kelompok-kelompok garis keras yang mengatasnamakan Islam. Ideologi yang beberapa tahun terakhir ini sayangnya mendominasi pemberitaan internasional. Tentu saja dengan konotasi negatif.
Penertiban barisan oleh Al Azhar adalah untuk membalikkan gambaran Islam yang negatif menjadi positif. Bahwa Islam adalah agama yang modern, toleran, moderat, membawa kedamaian, dan rahmatan lil ‘alamin.
Bahwa setiap Muslim di mana pun berada harus memberi manfaat bagi lingkungan dan sesamanya.
*********
Republika.co.id