Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Kamis, 05/01 – 2017 ).
Kabar perombakan kabinet yang beredar kencang dua pekan terakhir semakin membuat kita khawatir. Klaim Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, bahwa mereka mendapat tawaran kursi menteri atau jabatan setingkatnya, menjadi sinyal bahwa Presiden Joko Widodo menjadikan kabinet sebagai ladang transaksi politik. Sinyal yang tidak kita harapkan bakal terjadi lagi.
Tentu, reshuffle adalah hak prerogatif Presiden. Dengan hak itu pula, pada reshuffle kedua Juli tahun lalu Jokowi “membayar” dukungan Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional dua partai yang “eksodus” dari porak-porandanya kelompok oposisi Koalisi Merah Putih.
Jokowi mengangkat politikus Golkar, Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Perindustrian. Begitu pula satu kursi untuk PAN dengan dilantiknya Asman Abnur sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Bagi stabilitas politik dan pemerintahan, hasil yang diperoleh cukup sebanding. Setidaknya, dengan tujuh dari sepuluh partai di belakang Jokowi, parlemen menjadi terkendali. Belakangan mereka bahkan bersepakat mengubah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) untuk mengembalikan PDI Perjuangan ke kursi pimpinan sebagai pemenang pemilihan umum.
Namun, di sisi lain, akuntabilitas pemerintah menjadi tak terukur karena fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat semakin kerdil. Semakin hari Senayan semakin beraroma Medan Merdeka Utara. Fraksi-fraksi di DPR menjadi satu suara.
Kalaupun masih ada yang berbeda pendapat, hampir dapat dipastikan mereka kalah jumlah sehingga cenderung putus asa.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan bagi demokrasi yang menuntut tegaknya pilar legislatif. Demokrasi juga seharusnya tidak dijalankan dengan membangun kekuasaan mutlak yang akan terjadi jika Jokowi jadi memberikan kursi kabinet kepada Gerindra dan PKS.
Rakyat hanya diberi satu partai tersisa di DPR untuk menjalankan fungsi checks and balances pemerintahan, yakni Partai Demokrat. Sementara kita tak bisa berharap banyak kepada partai yang terbiasa menjadi kelompok penguasa.
Sekali lagi tentu kita memahami, reshuffle adalah hak Presiden Joko Widodo. Tapi pergantian, ataupun sekadar rotasi di tubuh kabinet kali ini, seharusnya dilakukan secara terukur. Kinerja para menteri adalah satu-satunya hal yang wajib dijadikan pertimbangan Jokowi. Copot mereka yang tak banyak bekerja. Cari penggantinya atas dasar kompetensi, bukan jatah-jatahan partai.
Jokowi harus ingat masa tugasnya tersisa dua tahun. Utak-atik komposisi kabinet bakal sia-sia jika dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan menambah dukungan politik. Dalam dua tahun tersisa itu, kita justru berharap Jokowi mengoptimalkan waktu tersebut untuk memenuhi janji kampanyenya, membentuk kabinet kerja dalam arti sebenarnya.
**********
Opini Tempo.co